Pendupaan

04/07/2009 11:34

Kemenyan merupakan salah satu persembahan yang dibawa oleh tiga raja kepada kanak-kanak Yesus (Mat 2:11), dan sudah ribuan tahun kemenyan ini menjadi lambang pemujaan bagi Allah dengan membumbungkannya bersamaan dengan doa. Para biarawati St.Benedictus di kota Steinfeld (Jerman) dengan tekun meraciknya untuk keperluan liturgis Gereja. Menurut Suster Maria, seorang biarawati dari St.Benedictus ini mengatakan bahwa hanya getah kulit pohon dammar yang bermutu baik saja yang dapat digunakan. Khususnya Boswellia carterii, papyrifera dan thurfiera. Namun resep pembuatannya tetaplah rahasia. Kemenyan buatan para biarawati ini sangat terkenal. Walaupun pembuatannya masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana, namun menghangsilkan kemenyan yang bermutu baik karena mereka telah mempelajari proses pembuatannya dan cara pembakaran berbagai jenis dammar ini dalam waktu yang cukup lama. Sehingga kemenyan buatan para biarawati ini menjadi terkenal, tidak saja di daratan Eropa namun hingga sampai di Papua New Guinea.
Sesuai dengan arti liturgis, kemenyan itu dibuat sambil berdoa, karena dipergunakan sebagai pelengkap doa. Disetiap bungkus kemenyan buatan para suster St.Benedictus ini tertulis Mazmur 141 yang berbunyi “Biarlah doaku adalah bagiMu seperti persembahan ukupan (kemenyan) ini”.  Banyak peristiwa yang menarik berkaitan dengan penggunaan kemenyan dalam Gereja, karena  kemenyan merupakan simbol misteri kelahiran.
Di Gereja Koptik Maria di Ethiopia terdapat Bejana Kemenyan Kencana. Ketika imam sedang mendupai altar ia akan mengatakan “Bejana Kemenyan adalah Maria, kemenyan itulah Dia yang telah dilahirkan.” .
Menurut ahli sejarah bangsa Romawi bernama Plinius Sr, kemenyan mempunyai makna sakral karena dalam pembuatannya perlu melakukan beberapa pantang diantaranya selama masa panen mereka tidak diperbolehkan untuk menghadiri upacara pemakaman.
Sejak ribuan tahun kemenyan sudah diperdagangkan di Arab, India dan Somalia serta mempunyai jalur perdagangan sepanjang lebih dari 25.000 km. Diperkirakan Ratu Sheba (965-926 BC)  menggunakan jalur ini ketika ia berkunjung ke kerajaan Salomo dan membawa pula rempah-rempah dan wangi-wangian dalam jumlah yang besar (2Taw 9:9).
Sejak zaman dahulu komiditi kemenyan ini telah menjadi mata dagangan yang menguntungkan. Beberapa  bangsa di sekitar Laut Tengah menggunakannya untuk pemujaan para dewa mereka, seperti bangsa Babilonia untuk Dewa Baal. Bahkan bangsa Mesir membakar kemenyan 3 kali sehari untuk Dewa Matahari. Sedangkan bangsa Yahudi pun menggunakan dalam peribadatannya, dimana kemenyan menjadi salah satu unsur ukupan kudus (Kel 30:34) dan dibakar pada saat korban sajian dipersembahkan (Im 6:15) serta di bubuhkan di atas setiap sajian roti  di Kemah Suci (Im 27:7).
Umat Kristen perdana memang tidak menggunakan kemenyan dalam peribadatannya, mereka beranggapan bahwa penggunaan kemenyan merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Penulis Latin, bernama Tertullianus (160-225 Masehi) dalam bukunya “Apologeticus” menulis agar orang Kristen tidak menggunakan kemenyan untuk menaikkan doanya, juga St.Agustinus (354-340 M) mengatakan bahwa Allah minta pujian dan tidak minta kemenyan. Baru pada abad ke-5 umat Kristen dalam peribadatannya menggunakan kemenyan, terutama untuk mendupai altar di mana kurban Kristus dipersembahkan. Pada pemberkatan altar, pembakaran kemenyan merupakan lambang altar baru dari Kristus, seperti halnya dipersembahkan oleh para majus kepada bayi Yesus. Dan menurut para biarawati di biara St.Benediktus Stenfiled bahwa kemenyan akan lebih menunjang dalam perayaan misteri Kristus.

Sumber : Ensklopedi Alkitab Masa Kini & sumber lainnya             .-                                                                           

Sita Sayanna 

—————

Back