Penggunaan Patung di Dalam Gereja

12/07/2009 14:39

Dalam ibadat dan liturgi, kita sebagai orang Katolik tidak dapat lepas dari penggunaan lambang dan simbol yang berupa patung. Dan ini tidak menimbulkan masalah bagi kita, tetapi ketika dihadapkan pertanyaan tentang ini, kita tidak dapat menjelaskan dengan baik akan makna dan artinya. Terlebih itu bertentangan dengan KS.
Perintah ke-2 dalam 10 perintah dikatakan “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku” (Kel 20:4-5).
Dalam kitab Ulangan, larangan bagi bangsa Israel untuk membuat gambaran dan bentuk apapun untuk disembah selain kepada Allah, “Janganlah kamu membuat berhala bagimu, dan patung atau tugu berhala janganlah kamu dirikan bagimu”, juga dibagian lain “…supaya jangan kamu berlaku busuk dengan membuat bagimu patung yang menyerupai berhala apapun, ...” (Ul 4:16-18). Hukum itu begitu kerasnya sehingga bagi yang melanggarnya akan “Terkutuklah orang yang membuat patung pahatan atau patung tuangan, suatu kekejian bagi Tuhan (Ul 27:15). Dengan jelas bahwa Allah melarang pemakaian gambaran apapun untuk penyembahan. Maka dengan konteks inilah banyak orang yang kemudian membuang segala macam bentuk patung dalam ibadat mereka.
Dalam tata peribatannya bangsa Israel, tidak dapat lepas dari penggunaan patung dan gambaran Ilahi dan bahkan Allah sendiri memerintahkan pembuatan patung dan gambaran Ilahi itu. Dalam kitab Keluaran 25:18: mereka diperintahkan Allah untuk membuat Tabut Perjanjian, guna menempatkan ke-2 loh batu 10 perintah itu. Dan membuat 2 kerub dari emas, perwujudan dari setengah manusia dan setengah binatang yang ditempatkan pada tutub Tabut Perjanjian. Beberapa tokoh suci pun juga memakai patung untuk peribadatannya, seperti Gideon membuat gambaran Allah dari anting-anting emas (Hak 8:24-28), Mikha membuat efod dan terafim dari perak dan mendirikan kuil untuk penyembahan kepada Allah (Hk 18:1-31). Bahkan Daud pun mempunyai gambaran Illahi dalam rumahnya (1 Sam 19:11-13).
Dalam Bait Allah yang dibangun oleh Salomo, juga dipenuhi dengan lambang dan patung Illahi. Mulai dari bagian yang dikuduskan, ditempatkan 2 kerub dari kayu minyak bersama-sama dengan Tabut Peranjian (1Raj 6:23). Pada bagian dalamnya dipenuhi dengan gambaran kerubim, pohon korma, dan bunga-bunga (1Raj 6:23). Untuk mendukung gambaran air yang menyucikan di pintu masuk Bait Allah, maka dibuatlah 10 kereta penopang dari tembaga (1Raj 7:27). Singkatnya gambaran Ilahi dan berbagai macam bentuk, mirip patung, yang ada dalam Bait Allah dibuat dengan persetujuan dari Allah sendiri (1 Raj 5-8).
Lebih dari itu, seekor ular tembaga yang dibuat Musa, atas perintah Allah sendiri untuk menyembuhkan mereka yang digigit ular dan dipakai dalam konteks penyembahan. Dan itu masih tetap dipergunakan hingga lebih dari 200 tahun, dan ditempatkannya dalam Bait Allah hingga dihancurkan oleh raja Hizkia (2Raj 18:4). Yehezkiel juga mendapat penglihatan tentang Bait Allah yang baru, dan dipenuhi dengan gambaran dan patung Ilahi (Yeh 40:1-41:26).
Apa yang terjadi dengan perintah ke-2 itu? Sepertinya tidak mempunyai pengaruh atau hanya sekadar bahwa perintah itu tidak begitu wajib dijalankan. Kemudian apa yang menjadi dasar untuk melihat gambaran Ilahi atau patung tersebut? KS tidak memberikan penjelasan dan orang Israel tidak pernah menegaskan dasar tersebut. Dalam Kitab Ulangan memang ditemukan teks yang mengacu pada dasar tersebut, “Hati- hatilah, sekali-sebab kamu tidak melihat sesuatu rupa pada hari Tuhan berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api - supaya jangan kamu berlaku busuk dengan membuat bagimu patung yang menyerupai berhala apa pun...” (Ul 4:15-16). Artinya, ketika Allah bersabda bagi mereka, orang Israel hanya mendengar suara tanpa melihat apa pun sebagai gambaran Illahi.
Masa itu, bangsa Israel mempunyai keyakinan bahwa simbol-simbol Ilahi tidak hanya mengungkapkan lambang, tetapi simbol itu adalah Yang Ilahi sendiri. Dan menurut pemahaman primitif, pribadi Ilahi tinggal dalam gambar atau simbol yang dipakai untuk mengungkapkan Yang Ilahi. Ketika seseorang membuat simbol, Allah sendiri datang dan tinggal dalam simbol itu. Simbol menjadi seperti ungkapan untuk mengundang Allah untuk datang dan tinggal di dalamnya. Dalam kitab Kejadian 30:31 diceritakan bahwa Rachel, istri Yakub, mencuri terafim Laban, ayahnya, ungkapan Laban seolah-olah Rachel telah mencuri dewanya, juga dalam kitab Hakim-hakim 18 ”Mikha merasakan hal yang sama ketika patungnya dicuri.
Kemungkinan jatuh pemahaman magis dari simbol Ilahi memang sangat mungkin sekali. Memiliki simbol Ilahi berarti mempunyai kekuatan Ilahi dan inilah salah satu bentuk penguasaan terhadap yang Illahi. Yang menempatkan identitas Allah dalam bahaya.  Allah mewahyukan diri secara bebas ketika menyatakan Diri-Nya,  menurut kehendak-Nya sendiri.
Ketika pemahaman semacam itu belum menjadi ancaman, tidak ada masalah untuk menerima gambaran Ilahi atau patung. Namun ketika bangsa Israel jatuh dalam pemujaan terhadap berhala, para nabi muncul dan mengingatkannya. Nabi Hosea menjadi yang pertama yang mengingatkan bahwa bukan jenis dan banyaknya persembahan yang menjadi ukuran bagi mereka untuk mendapatkan berkat Allah. Begitu juga nabi Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel melakukan hal yang sama. Ketika itu belum disadari bahwa manusia dapat menyembah Allah dalam bentuk manusiawi.
Kemudian muncul perkembangan rasional dan filsafat Yunani, hal inilah yang kemudian membantu dalam mengurangi ide pemujaan terhadap gambaran Ilahi dan patung. Di samping itu, bangsa Israel juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan semua orang, tidak hanya bagi mereka. Karena itu semua gambaran Ilahi, altar, doa-doa, ritual dan penyembahan yang dirayakan di semua tempat ditujukan kepada Allah. Allah sendiri, sepertinya menyembunyikan diri dan akan mewahyukan diri dalam periode manusiawi yang lebih dewasa, yang dapat diterima oleh semua orang. Dalam PL, Allah mewahyukan diri tanpa perantara. Tetapi dalam PB Allah membuat diri-Nya dapat dilihat. Yaitu melalui diri Putra-Nya Yesus. Allah sendiri, ketika tidak ada penyimpangan pemahaman, bersedia untuk mendekati manusia, dengan perantaraan Kristus, supaya manusia dapat melihat, mendengar, menyentuh, dan merasakan kehadiran-Nya.

Dalam 2 Kor 4:4 : Paulus memahami dengan baik tentang “Kristus, gambaran Allah”,  dengan madah indah, ia mengatakan bahwa Kristus “adalah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Yesus sendiri mengatakan kepada Filipus, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9). Karena itu, jika Allah sendiri bersedia meninggalkan “tempat persembunyian-Nya” dan kemudian membuat diri-Nya sendiri nampak dengan perantaraan manusiawi, siapakah kita yang berani melarang gambaran akan diri-Nya?.
Larangan dalam PL mempunyai tujuan pendidikan, karena itu hanya bersifat sementara. Dengan berjalannya waktu, kedewasaan berpikir manusia semakin matang.  Disinilah orang-orang Kristen seharusnya dapat memahami, mereka mulai dengan gambaran Kristus dan melukiskan bagian-bagian hidup-Nya untuk membantu orang semakin dekat dengan Allah.
Gereja Reformasi (Protestan), ketika memisahkan diri dari Gereja Katolik, melarang pemakaian gambar Kristus dalam bentuk apapun dan mereka menghancurkan patung-patung. Tetapi Martin Luther, sang pelopor Gereja Protestan, menyadari pentingnya gambaran itu. Dalam salah satu suratnya ia menulis, “Simbol, gambaran, perantaraan dan ritual liturgis dan hal-hal semacam itu seharusnya dibiarkan sebagai suatu pilihan bebas. Mereka yang tidak menyukainya dapat menyingkirkannya. Semua itu mendapatkan inspirasi dari KS dan Tradisi, dan sepertinya sangat berguna bagiku.” Dalam bagian lain, Luther juga mengakui bahwa segala macam perantaraan itu adalah “Injil bagi orang-orang miskin.”
Luther mengerti bahwa banyak pengikutnya menolak untuk memahami bahwa memakai perantaraan bukan sebuah pemujaan terhadap gambaran itu sendiri, tetapi kepada Allah, dengan memakai perantaraan. Inilah sebenarnya yang harus direfleksikan terus-menerus bagi semua orang, apakah masih tetap mempunyai mentalitas pemujaan kepada patung atau gambaran lain atau tidak. Secara mudah dapat dilihat, apakah mereka merasa sangat kehilangan sehingga tidak bisa berdoa lagi jika `perantaraan' itu rusak atau hilang. Mentalitas inilah yang sebenarnya ada dalam PL. Jika memang kita mau menerapkan perintah kedua itu secara tegas, maka menonton TV pun tidak boleh, karena itu akan menciptakan “perantaraan” bagi kebutuhan kita?
Dan ketika Yesus, Putra Allah, menjadi manusia, mengambil karakter yang bersifat sementara, bentuk yang sangat membantu dalam pewartaan-Nya. Sifat sementara itu tampak jelas dalam ungkapan, “Kami telah mendengar Dia, kami telah melihat Dia, kami telah menyaksikan Dia” (1Yoh 1:1). Jadi, ada kebutuhan untuk mencoba meluruskan kesalah-pahaman tentang pemakaian “perantaraan”. Meskipun kita harus menghindari konsep magis (takhyul) dan kesalahan dalam pemakaian “perantaraan”. KS tidak pernah bisa dipakai sebagai dasar langsung dari larangan penggunaan `perantaraan” seperti yang diterapkan pada beberapa gereja lain.
Hal yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menggambarkan Kristus yang ada dalam diri kita masing-masing. St. Paulus menegaskan “Sebab semua orang yang telah dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukannya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya...” (Rm 8:29). Tidak melakukannya hal ini berarti mengingkari asal dan tujuan hidup kita. Setiap perbuatan, karya dan peran kita dalam dunia ini, akan menciptakan gambaran dan pengaruh terhadap gambaran Yesus dalam hidup kita. Semua itu mengarahkan kita pada akhir hidup, yang seharusnya menjadi semakin sempurna. Yesus sendiri mengajak kita, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48).


Disarikan dari JUBILEUM Edisi 55, Tahun V 2004, oleh P. Damar Cahyadi, Pr

—————

Back