Percaya & Mempercayakan

04/07/2009 14:37

Percaya dan Mempercayakan

    Sabtu malam minggu yang lalu, sambil tiduran di kamar kami sekeluarga menyaksikan  film “Spiderman 2” yang ditayangkan sebuah stasiun televisi. Meski tayangan ulang, anak-anak kami Vinsensa dan Yesaya sangat senang melihat aksi Peter Parker meloncat dari gedung yang satu ke gedung yang lain. Maka, ketika saya mau memindahkan cannel, mereka kompak bereaksi: “Jangan ayah!”. Kemudian iseng-iseng saya tanya Yesa: “Say, memang berani diayun-ayun begitu sama Spiderman?”, “Berani!”. Jawabnya singkat. Sambil menyelidik saya tanya lagi: “Kalau jatuh gimana?”. “Kan ditolongin terus dibawa terbang, seru kan?”. Jawabnya sambil memperagakan gaya Peter Parker saat mendarat di puncak gedung. “Wuis….kayak Ultraman!”. Katanya, menyebut idolanya yang lain. Itulah jawaban anak kecil, lugas dan tanpa ragu. Bagi saya jawaban itu terdengar lucu, tetapi saya yakin, dalam benaknya dia percaya Spiderman akan menolongnya bila terjatuh, sama seperti saat menolong anak kecil yang akan ditabrak mobil di jalan raya ketika Spiderman sedang terburu-buru mengantarkan Pizza.
    Cerita di atas sekedar ingin menggambarkan bahwa yang disebut percaya itu bukan hanya diartikan secara sederhana sebagai upaya mempercayai sebuah kebenaran atau fakta, misalnya percaya bahwa Spiderman bisa “terbang” menggunakan jaring-jaringnya, tetapi lebih dari itu. Percaya adalah sebuah kebenaran bagaimana seseorang mempercayakan dirinya kepada orang lain. Seperti pasangan calon pengantin yang berjanji akan menjadi suami dan istri yang baik dan setia serta menjadikan Tuhan sebagai sumber kehidupan perkawinan mereka. Sebab kalau tidak demikian mereka tentu tidak menikah.
    Seseorang yang percaya kepada Tuhan, belum tentu bahwa ia mempercayakan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Karena seseorang yang mengaku beriman seringkali tidak menunjukkan imannya melalui perbuatan-perbuatannya. Terhadap orang-orang yang demikian dengan sinis Yakobus hamba Tuhan dalam suratnya menulis demikian: “Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja, itu baik!. Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar”. (Yak. 2:19). Percaya bukanlah sekedar mempercayai sejumlah ajaran tentang Tuhan, melainkan mempercayakan diri sepenuhnya dalam sebuah hubungan dengan Tuhan dan menjadikannya nyata dalam hidup.
    Menyatakan diri percaya kepada Tuhan dalam Ekaristi atau dalam doa adalah suatu hal yang mudah kalau hanya diungkapkan secara formalitas dan rutinitas saja, yang sulit justru menjalani hubungan dengan Tuhan sepanjang waktu setiap hari. Sebab, mempercayakan diri kepada Tuhan berarti menempatkan kehendak Tuhan di atas segala-galanya, sehingga seseorang tidak lagi mengandalkan kekuatannya sendiri tetapi bertumpu pada Tuhan.  Mempercayakan diri juga berarti memberikan dirinya dipimpin oleh Tuhan, bukan menolak campur tangan Tuhan dalam hidupnya.
    Percaya pada Tuhan adalah dasar hidup orang beriman, namun yang sering muncul malahan perasaan bimbang, ragu, cemas dan bahkan masa bodoh. Sikap seperti itulah yang ditunjukkan oleh orang-orang Nazaret tempat asal Yesus. Ketika mereka mendengar tentang mukjizat-mukjizat yang telah Ia adakan dan mendengar pengajaran-Nya di rumah ibadat mereka semua mengaku takjub, tetapi mereka justru bersikap sebaliknya, mereka kecewa, iri hati dan sombong bahkan menolak Yesus karena hikmat yang dimiliki-Nya dan mukjizat yang diadakan-Nya serta karena asal usul-Nya. Terhadap hal itu Yesus merasa heran atas ketidakpercayaan mereka.  Akibatnya, mereka tidak memperoleh kasih karunia Allah yang lebih besar, sebab Ia tidak mengadakan satu mukjizatpun di sana lalu pergi ke desa-desa lain sambil mengajar. (Lih. Mark. 6: 1-6)
    Kehidupan beriman seperti gelombang laut, kadang pasang kadang surut. Demikian pula halnya perjalanan hidup seseorang yang diibaratkan seperti roda yang berputar pada porosnya, sebentar di atas sebentar di bawah. Jika Tuhan adalah poros penggerak kehidupan, maka ketika roda terlepas atau tidak bertumpu lagi pada porosnya, roda itu akan bergerak tidak tentu arah yang akhirnya hancur berantakan. Itulah sebabnya Rasul Paulus meski sedang lemah memberi kesaksian: “Aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, kesukaran, penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12 :10). Tampak jelas bahwa Rasul Paulus sungguh mempercayakan hidupnya pada Kristus.
    Kita bisa menafsikan sendiri tentang penolakan orang Nazaret itu terhadap Yesus. Barangkali kita juga pernah merasa ragu dengan ke Allah-an Yesus, lalu mencari “allah-allah lain”?. Atau malah sering menolak campur tangan Yesus dan lebih mengadalkan kekuatan kita sendiri daripada mempercayakan hidup kita pada Yesus?. Setiap jawaban yang muncul merupakan cerminan pergumulan iman seseorang, sebab di dalam percaya ada ketidakpercayaan dan di dalam ketidakpercayaan ada percaya. Bapa orang beriman Abraham mengalami hal serupa, ketika Allah menjanjikan sebuah negeri dan keturunan baginya mula-mula ia tidak percaya namun kemudian ia percaya, seperti yang tertulis dalam kitab Kejadian 15:6 demikian: “Lalu percayalah Abram kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran”.
Dominus vobis cum.                                                                   
                                (erkautomo)

—————

Back