Mujizat itu Nyata

26/07/2009 08:24

Mujizat Itu Nyata

    Dalam  kehidupan sehari-hari kata mukjizat sering dimengerti sebagai suatu peristiwa ajaib yang melampaui hukum alam dan nalar manusia dan biasanya diikuti dengan kejadian-kejadian yang dianggap luar biasa, spektakuler dan sensasional. Sedangkan dalam bahasa Alkitab kata itu dipakai untuk menjelaskan suatu peristiwa dimana Allah sedang berkarya, atau sebagai tanda bahwa Allah hadir dalam suatu peristiwa.
    Seperti kita ketahui, dalam mewartakan karya-Nya, Allah melalui diri Yesus tidak semata-mata menyampaikannya lewat kata-kata atau sabda-Nya dengan cara mengajar atau memberi wejangan tetapi juga dengan perbuatan-Nya, doa-doa-Nya, perhatian-Nya, belas kasih-Nya dan juga mukjizat-mukjizat-Nya. Segala pengajaran-Nya tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Ini menunjukkan satu kesatuannya antara kata dan perbuatan.
    Dalam Injil banyak kita temukan kisah tentang mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus. Yang pertama dilakukan-Nya adalah ketika Ia mengubah air menjadi anggur dalam perkawinan di Kana (Yoh 2: 1-11), Dalam Injil Yohanes diceritakan juga bagaimana Yesus menghidupkan orang mati (Yoh. 11: 1-44). Juga tentang pengusiran Roh Jahat (Mrk. 5 : 1-20), tentang penyembuhan penyakit (Mat. 9: 1-8) dan yang sangat populer adalah mukjizat lima roti dan dua ikan yang ditulis oleh ke empat pengarang Injil.
    Bagi pandangan awam, pelipat gandaan lima roti dan dua ikan ini adalah sesuatu hal yang mustahil bisa dilakukan, termasuk Filipus dan Andreas murid Yesus. Maka ketika Yesus mencobai mereka dan bertanya: ”Dimanakan kita akan membeli roti supaya mereka ini dapat makan?”. Jawab Filipus kepadaNya: ”Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja”. Lalu Andreas juga mencoba berkilah: ”Di sini ada seorang anak yang memiliki lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?. (Yoh 6:5-9)
    Persoalan menjadi lebih serius, karena tugas untuk memberi makan orang banyak ini diserahkan kepada murid-muridNya. Dalam Injil Matius dikatakan: ”Menjelang malam, murid-muridNya datang kepada-Nya dan berkata: ”Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makan di desa-desa”. Tetapi Yesus berkata kepada mereka: ”Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan”. (Mat 14 : 15-16)
    Sama dengan Filipus dan Andreas, dengan berbagai alasan seseorang sering atau cenderung ragu dan penuh perhitungan  dalam membantu orang lain. Bahkan tanpa berbuat sesuatu berusaha menunjukkan rasa empati dengan cara mengekploitasi penderitaan orang lain hanya untuk kepentingan diri sendiri. Untuk mengimbangi sikap murid-muridNya itu Yesus memberikan contoh seorang anak kecil yang mempersembahkan apa yang dimilikinya berupa lima roti dan dua ikan kepada Yesus. Sikap anak kecil itu sangat berlawanan dengan murid-murid Yesus. Dalam keadaan lelah dan lapar ia rela memberikan makanan yang dimilikinya kepada orang lain. (Lih. Mat. 14:15)
    Lalu, apakah Yesus memberi makan lima ribu orang laki-laki hanya dengan lima roti dan dua ikan itu dilakukan karena Dia ingin memamerkan kuasa-Nya yang begitu besar?. Sama sekali tidak. Sebab dikatakan: ”Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka” (Mat 14:14). Inilah alasannya dan ini pulalah yang ingin  diajarkanNya kepada murid-muridNya
    Sebagian besar dari kita telah mengenal Yesus sejak lahir dan tentunya pernah mendengar kotbah atau homili tantang perikop ini. Pelajaran berharga yang hendak disampaikan adalah, jika kita memiliki sesuatu apapun dan sekecil apapun yang dipersembahkan kepada Tuhan dengan tulus iklas, maka Tuhan akan memberkati dan melipatgandakan berkat itu bagi banyak orang.
    Mungkin itu merupakan satu alasan mengapa dalam Konggres Ekaristi ke-I bulan Juni 2008 yang diadakan oleh Keuskupan Agung Semarang mengambil tema setral “Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan” yang gemanya bagaikan virus yang menyebar keseluruh pelosok Keuskupan Agung Semarang. Tema tersebut tergolong sakti karena mampu  menyentuh kedalaman hati nurani umat di KAS. Sehingga banyak persoalan-persoalan umat dapat terselesaikan melalui gerakan ini.
    Bagi orang beriman, mengalami keragu-raguan adalah hal yang wajar. Akan menjadi tidak wajar apabila kita meragukan campur tangan Tuhan dalam setiap rencana perbuatan baik kita. Apabila persoalan yang dihadapi Filipus dan Andreas itu menimpa kita di jaman sekarang, mungkin kita juga bertanya: ”Duh Gusti....dengan cara apa saya harus melakukannya?. Dan bisa-bisa kita nangis darah. Injil telah mengajarkan, segala sesuatu yang tidak mungkin bagi kita, akan menjadi nyata bagi Allah. Dominus vobis cum.     (erkatomo)

—————

Back